19 Februari 2020

Delay Pesawat Dua Hari, Pernahkah Anda Mengalaminya?



Bukan main terkejutnya saya, ketika pukul 04.15 saya baca pesan dari mas Tri Wibowo yang mengabarkan bahwa pesawat yang akan saya tumpangi hari ini senin 5 Nopember 2018 dibatalkan dan dialihkan hari berikutnya, selasa 6 Nopember. Pasalnya bandara SAMS Balikpapan lumayan jauh dari rumah tinggal saya di Kota Samarinda. Perlu waktu tumpuh normal setidaknya 3 jam kondisi siang dan 2.5 jam di dini hari.
Seperti biasanya untuk penerbangan pagi jam 6.00, saya berangkat dari Kota Samarinda pukul 01.00 untuk jadwal travel kangguru jam 01.20 atau 01.40. Kali ini saya ikut yang jadwal 01.40 menuju bandara SAMS. Juga seperti biasanya, saya diantar anak sulung saya untuk menuju pangkalan travel tersebut, padahal sebenarnya dia sedang tidur lelap di jam pagi seperti itu. Namun demi ayahnya yang tidak bisa setiap hari bertemu, kesempatan mengantar saya tersebut merupakan salah satu pertemuan yang penuh makna. Curhatan dari anak sulung saya yang sekarang sedang kelas 12, sering muncul dan sering juga pada kesempatan tersebut saya sisipkan motivasi untuk memberikan semangat padanya dalam belajar.

Perjaalanan dari Samarinda ke Balikpapan terasa seperti hari-hari biasa yang sudah saya alami 6 bulan terakhir. Mobil travel dengan kecepatan tinggi melaju berkelok-kelok menyusuri jalanan sepanjang 129km. Melintasi bukit Suharto yang penerangannya kurang, kadang roda mobil melaju di atas jalan yang tidak rata, kadang juga terkena lubang yang masih ada juga di sepanjang jalan. Kondisi tersebut sudah biasa saya lalui. Sering juga saya paksakan tidur selama perjalan, agar pas tiba di Tanjung Selor untuk langsung bekerja tidak dalam kondisi mengantuk. Dalam guncangan-guncangan mobil itu, tidurpun hanya sekedar menutup mata, kadang bisa pulas dan kadang terbangun pula. Kali ini aku baru bisa mulai tidur setelah travel berjalan 30 menit, di luar kebiasaanku yang langsung mulai tidur sejak travelnya berjalan.

Tepat pukul 04.07 travel tiba di bandara SAMS Balikpapan. Aku langsung turun dan langsung menuju toilet untuk buang air kecil. Kemudian seperti biasa pula aku langsung menuju kursi dekat tempat cek in sekedar untuk rebahan sebentar sambil menunggu petugas cek in siap di tempatnya. Sambil buka pesan WA di hp, ternyata pesan dari mas Tri mengejutkanku, pesan penundaan penerbangan pesawat Nam Air tersebut. Lalu kulihat kotak pesanku di hp dan juga melalui email, ternyata ada juga pesan tersebut tertanggal hari ini senin 5 Nopember 2018. Pesan melalui sms masuk pukul 03.13 dan pesan melalui email masuk pada pukul 03.14. Jika dilihat dari waktu masuknya, pada saat yang sama aku sedang dalam perjalanan dari Samarinda ke Balikpapan. Kesal juga sih awalnya, kenapa pemberitahuannya tidak sejak kemarin sore, seperti biasanya nam air mengingatkan untuk cek in tepat waktu.

Ketika petugas cek in tiba di mejanya, langsung kami pertanyakan perihal penyebab penundaan ini. Kala itu ada sekitar 6 orang yang sudah berada di lokasi cek in. Menurut petugas cek in, penyebabnya dikarenakan ada maintenance pesawat, dan kamipun diarahkan ke bagian tiketing yang disediakan khusus di dekat bagian cek in. Sesampai di sana, hanya ada dua alternatif yang ditawarkan, yaitu: refund tiket atau pengalihan tanggal keberangkatan menjadi tanggal 6 Nopember. Bagi mereka yang memang punya acara penting di Tanjung Selor di hari senin itu, terpaksa memilih refund dan beralih menggunakan maskapai lainnya untuk mencapai Tanjung Selor. Bagiku dan juga mas Tri Wibowo waktu itu memutuskan untuk pengalihan tanggal keberangkatan menjadi tanggal 6 Nopember. Aku putuskan saat itu untuk menunda keberangkatan menjadi tanggal 6 nopember, salah satunya dikarenakan cuti tahunanku masih banyak untuk tahun 2018.

Akhirnya selepas mengerjakan sholat subuh di bandara, kami berdua bergegas keluar bandara untuk kembali menuju rumah kami masing-masing di Samarinda. Saat itu sudah pukul 05.00 dan di bandara belum tersedia angkutan travel Kangguru dan juga taksi-taksi argo yang biasa kami tumpangi untuk menuju Kota Samarinda. Terpaksa kami keluar dari bandara untuk mencari angkutan lain. Kebetulan ada innova yang baru saja antar penupang ke bandara dan akan pulang lagi ke Samarinda. Akhirnya kamipun ikut kembali ke Kota Samarinda dengan ongkos tiap orang Rp.100.000,-

Sampai di rumah Samarinda pukul 08.15 dan yang ada di rumah hanya anak ke-5 ku yang masih usia 1 tahun dengan ditemani budhe pangasuhnya. Istriku sudah berangkat kerja, dan anak-anakku yang lain juga sudah berangkat sekolah. Ternyata dengan kejadian ini, kesempatanku untuk bersama dengan anak bungsuku yang baru satu tahun bisa lebih panjang dalam bermain bersama. Si bungsu sudah mulai berani berjalan sendiri walau kadang-kadang masih perlu bantuan ataupun pegangan pada tembok, pada lemari maupun pada meja sebagai bantuan keseimbangan. Kadang-kadang dia perlu menjaga keseimbangan badannya dengan menjulurkan tangannya ke depan....lucunya. Saat-saat seperti ini yang perlu pendampingan dan sangat menyenangkan bagi setiap orang tua yang berusaha tidak untuk dilewatkan.

Dengan penundaan ini, aku juga sangat bersyukur karena diinformasikan sebelum keberangkatan pesawat. Pihak maskapai tidak memaksakan untuk terbang jika terjadi masalah pada pesawat yang akan diterbangkan. Jika penerbangan dipaksakan, dimungkinkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan hingga bisa terjadi kecelakaan pesawat yang tentunya berakibat sangat fatal.

Masih segar dalam ingatanku akan kejadian jatuhnya pesawat JT610 dari Jakarta tujuan Pangkal Pinang sepekan yang lalu tanggal 29 Oktober 2018 pada pukul 06.33 WIB. Pesawat hancur berkeping-keping jatuh ke dalam laut jawa di Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat.  Pesawat itu mengangkut 181 penumpang dan 8 awak. Semua penumpang dan awak diduga tewas dalam kecelakaan itu.

Sebelum jatuh menghunjam laut di perairan Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat, pesawat Lion Air dengan kode penerbangan JT 610 dan registrasi pesawat PK-LQP dikabarkan seperti terbang buta. Hal tersebut terjadi karena pesawat dengan jenis Boeing MAX 8 tersebut diduga sempat mengalami masalah pada sistem kendali. Kondisi tersebut diketahui dari percakapan antara kopilot Harvino dengan pemandu lalu lintas udara atau Air Traffic Controller (ATC). Kopilot Harvino sempat mengatakan semua instrumen di kokpit selalu menunjukkan angka yang sama. Ia tidak yakin pesawat telah berada di ketinggian 5.000 kaki. Pesawat itu juga minta diberi ruang sejauh 3.000 kaki untuk menghindari kepadatan lalu lintas udara. Seperti dikutip dari laporan utama Majalah Tempo edisi Senin, 5 November 2018, diketahui bahwa penerbang tidak tahu kecepatan dan ketinggian pesawat. Pesawat juga terbang manual.

Dalam penerbangan JT 610 tersebut ternyata ada 6 rekan kerjaku sesama di Ditjen Perbendaraan yaitu : Abdul Khaer, Muhammad Fadhilah, Eko Sutanto, Joyo Nuroso, Ahmad Endang Rochana, dan Bambang Rozali Usman. Dua diantara nama-nama tersebut (Abdul Khaer dan Muhammad Fadhilah) pernah bertugas bersama-sama dalam satu kota denganku dan aku kenal baik orangnya. Innalilahi wa innailaihi rojiun. Semoga segala amal mereka diterima Alloh, dihapuskan segala dosanya dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan dan kesabaran dalam menerima segala takdir dan cobaan ini….aamiin.

Ini salah satu bukti bahwa manusia berencana, namun Alloh lah yang menentukan. Termasuk penundaan penerbangan saya dari Balikpapan ke Tanjung Selor tanggal 5 nopember 2018 ditunda ke tanggal 6 nopember 2018. Tidak cukup sampai disini, ternyata penerbangan tanggal 6 Nopember tersebut juga mengalami pembatalan. Pemberitahuan kali ini masuk ke hp dan email saya pada pukul 16.07 WITA dan untungnya tiket travel Samarinda ke Balikpapan belum saya bayar sehingga bisa dialihkan ke hari berikutnya tgl 7 nopember dini hari (aturan travel: tiket yang sudah dibayar tidak dapat diuangkan/digeser). Sepertinya maintenance pesawatnya butuh 2 hari dan penerbangan sayapun dijadwal ulang menjadi tanggal 7 Nopember 2018. Akhirnya tanggal 7 Nopember 2018 pagi saya bisa terbang dari Balikpapan ke Tanjung Selor untuk melaksanakan tugas seperti biasanya. Alhamdulillah.