Bukan main terkejutnya saya, ketika pukul
04.15 saya baca pesan dari mas Tri Wibowo yang mengabarkan bahwa pesawat yang
akan saya tumpangi hari ini senin 5 Nopember 2018 dibatalkan dan dialihkan hari
berikutnya, selasa 6 Nopember. Pasalnya bandara SAMS Balikpapan lumayan jauh
dari rumah tinggal saya di Kota Samarinda. Perlu waktu tumpuh normal setidaknya
3 jam kondisi siang dan 2.5 jam di dini hari.
Seperti biasanya untuk penerbangan pagi jam 6.00, saya berangkat dari Kota
Samarinda pukul 01.00 untuk jadwal travel kangguru jam 01.20 atau 01.40. Kali
ini saya ikut yang jadwal 01.40 menuju bandara SAMS. Juga seperti biasanya,
saya diantar anak sulung saya untuk menuju pangkalan travel tersebut, padahal
sebenarnya dia sedang tidur lelap di jam pagi seperti itu. Namun demi ayahnya
yang tidak bisa setiap hari bertemu, kesempatan mengantar saya tersebut
merupakan salah satu pertemuan yang penuh makna. Curhatan dari anak sulung saya
yang sekarang sedang kelas 12, sering muncul dan sering juga pada kesempatan tersebut saya
sisipkan motivasi untuk memberikan semangat padanya dalam belajar.
Perjaalanan dari Samarinda ke Balikpapan
terasa seperti hari-hari biasa yang sudah saya alami 6 bulan terakhir. Mobil
travel dengan kecepatan tinggi melaju berkelok-kelok menyusuri jalanan
sepanjang 129km. Melintasi bukit Suharto yang penerangannya kurang, kadang roda
mobil melaju di atas jalan yang tidak rata, kadang juga terkena lubang yang masih
ada juga di sepanjang jalan. Kondisi tersebut sudah biasa saya lalui. Sering
juga saya paksakan tidur selama perjalan, agar pas tiba di Tanjung Selor untuk
langsung bekerja tidak dalam kondisi mengantuk. Dalam guncangan-guncangan mobil
itu, tidurpun hanya sekedar menutup mata, kadang bisa pulas dan kadang
terbangun pula. Kali ini aku baru bisa mulai tidur setelah travel berjalan 30
menit, di luar kebiasaanku yang langsung mulai tidur sejak travelnya berjalan.
Tepat pukul 04.07 travel tiba di bandara SAMS
Balikpapan. Aku langsung turun dan langsung menuju toilet untuk buang air
kecil. Kemudian seperti biasa pula aku langsung menuju kursi dekat tempat cek
in sekedar untuk rebahan sebentar sambil menunggu petugas cek in siap di
tempatnya. Sambil buka pesan WA di hp, ternyata pesan dari mas Tri
mengejutkanku, pesan penundaan penerbangan pesawat Nam Air tersebut. Lalu
kulihat kotak pesanku di hp dan juga melalui email, ternyata ada juga pesan
tersebut tertanggal hari ini senin 5 Nopember 2018. Pesan melalui sms masuk
pukul 03.13 dan pesan melalui email masuk pada pukul 03.14. Jika dilihat dari waktu
masuknya, pada saat yang sama aku sedang dalam perjalanan dari Samarinda ke
Balikpapan. Kesal juga sih awalnya, kenapa pemberitahuannya tidak sejak kemarin
sore, seperti biasanya nam air mengingatkan untuk
cek in tepat waktu.
Ketika petugas cek in tiba di mejanya,
langsung kami pertanyakan perihal penyebab penundaan ini. Kala itu ada sekitar
6 orang yang sudah berada di lokasi cek in. Menurut petugas cek in, penyebabnya dikarenakan ada maintenance pesawat,
dan kamipun diarahkan ke bagian tiketing yang disediakan khusus di dekat bagian
cek in. Sesampai di sana, hanya ada dua alternatif yang ditawarkan,
yaitu: refund tiket atau pengalihan tanggal keberangkatan menjadi tanggal 6
Nopember. Bagi mereka yang memang punya acara penting di Tanjung Selor di hari
senin itu, terpaksa memilih refund dan beralih menggunakan maskapai lainnya
untuk mencapai Tanjung Selor. Bagiku dan juga mas Tri Wibowo waktu itu
memutuskan untuk pengalihan tanggal keberangkatan menjadi tanggal 6 Nopember.
Aku putuskan saat itu untuk menunda keberangkatan menjadi tanggal 6 nopember,
salah satunya dikarenakan cuti tahunanku masih banyak untuk tahun 2018.
Akhirnya selepas mengerjakan
sholat subuh di bandara, kami berdua bergegas keluar bandara untuk kembali
menuju rumah kami masing-masing di Samarinda. Saat itu sudah pukul 05.00 dan di
bandara belum tersedia angkutan travel Kangguru dan juga taksi-taksi argo yang
biasa kami tumpangi untuk menuju Kota Samarinda. Terpaksa kami keluar dari
bandara untuk mencari angkutan lain. Kebetulan ada innova yang baru saja antar
penupang ke bandara dan akan pulang lagi ke Samarinda. Akhirnya kamipun ikut
kembali ke Kota Samarinda dengan ongkos tiap orang Rp.100.000,-
Sampai di rumah Samarinda pukul
08.15 dan yang ada di rumah hanya anak ke-5 ku yang masih usia 1 tahun dengan
ditemani budhe pangasuhnya. Istriku sudah berangkat kerja, dan anak-anakku yang
lain juga sudah berangkat sekolah. Ternyata dengan kejadian ini, kesempatanku
untuk bersama dengan anak bungsuku yang baru satu tahun bisa lebih panjang
dalam bermain bersama. Si bungsu sudah mulai berani berjalan sendiri walau
kadang-kadang masih perlu bantuan ataupun pegangan pada tembok, pada lemari
maupun pada meja sebagai bantuan keseimbangan. Kadang-kadang dia perlu menjaga
keseimbangan badannya dengan menjulurkan tangannya ke depan....lucunya.
Saat-saat seperti ini yang perlu pendampingan dan sangat menyenangkan bagi
setiap orang tua yang berusaha tidak untuk dilewatkan.
Dengan penundaan ini, aku juga
sangat bersyukur karena diinformasikan sebelum keberangkatan pesawat. Pihak
maskapai tidak memaksakan untuk terbang jika terjadi masalah pada pesawat yang
akan diterbangkan. Jika penerbangan dipaksakan, dimungkinkan terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan hingga bisa terjadi kecelakaan pesawat yang tentunya
berakibat sangat fatal.
Masih segar dalam ingatanku akan
kejadian jatuhnya pesawat JT610 dari Jakarta tujuan Pangkal Pinang sepekan yang
lalu tanggal 29 Oktober 2018 pada pukul 06.33 WIB. Pesawat hancur
berkeping-keping jatuh ke dalam laut jawa di Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat. Pesawat itu mengangkut 181 penumpang dan 8
awak. Semua penumpang dan awak diduga tewas dalam kecelakaan itu.
Sebelum jatuh menghunjam laut di
perairan Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat, pesawat Lion Air dengan kode
penerbangan JT 610 dan registrasi pesawat PK-LQP dikabarkan seperti terbang
buta. Hal tersebut terjadi karena pesawat dengan jenis Boeing MAX 8 tersebut
diduga sempat mengalami masalah pada sistem kendali. Kondisi tersebut diketahui dari percakapan antara
kopilot Harvino dengan pemandu lalu lintas udara atau Air Traffic Controller
(ATC). Kopilot Harvino sempat mengatakan semua instrumen di kokpit selalu
menunjukkan angka yang sama. Ia tidak yakin pesawat telah berada di ketinggian
5.000 kaki. Pesawat itu juga minta diberi ruang sejauh 3.000 kaki untuk
menghindari kepadatan lalu lintas udara. Seperti dikutip dari laporan utama Majalah Tempo edisi
Senin, 5 November 2018, diketahui bahwa penerbang tidak tahu kecepatan dan
ketinggian pesawat. Pesawat juga terbang manual.
Dalam penerbangan JT 610 tersebut
ternyata ada 6 rekan kerjaku sesama di Ditjen Perbendaraan yaitu : Abdul Khaer, Muhammad Fadhilah, Eko
Sutanto, Joyo Nuroso, Ahmad Endang Rochana, dan Bambang Rozali Usman. Dua
diantara nama-nama tersebut (Abdul Khaer
dan Muhammad Fadhilah) pernah bertugas bersama-sama dalam satu kota
denganku dan aku kenal baik orangnya. Innalilahi wa innailaihi rojiun. Semoga
segala amal mereka diterima Alloh, dihapuskan segala dosanya dan keluarga yang
ditinggalkan diberi ketabahan dan kesabaran dalam menerima segala takdir dan
cobaan ini….aamiin.
Ini salah satu bukti bahwa
manusia berencana, namun Alloh lah yang menentukan. Termasuk penundaan
penerbangan saya dari Balikpapan ke Tanjung Selor tanggal 5 nopember 2018
ditunda ke tanggal 6 nopember 2018. Tidak cukup sampai disini, ternyata
penerbangan tanggal 6 Nopember tersebut juga mengalami pembatalan.
Pemberitahuan kali ini masuk ke hp dan email saya pada pukul 16.07 WITA dan
untungnya tiket travel Samarinda ke Balikpapan belum saya bayar sehingga bisa
dialihkan ke hari berikutnya tgl 7 nopember dini hari (aturan travel: tiket
yang sudah dibayar tidak dapat diuangkan/digeser). Sepertinya maintenance
pesawatnya butuh 2 hari dan penerbangan sayapun dijadwal ulang menjadi tanggal
7 Nopember 2018. Akhirnya tanggal 7 Nopember 2018 pagi saya bisa terbang dari
Balikpapan ke Tanjung Selor untuk melaksanakan tugas seperti biasanya.
Alhamdulillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar